Artikel : M. Syarif Hidayatullah Mahasiswa Baiturrahmah.
sangat disayangkan sekali sepanjang sejarah perkembangan peradilan pidana korupsi, belum ada satu pun kasus korupsi yang diancam dengan hukuman mati. Hal itu tak lepas dari jenis kasus korupsi yang belum ditingkatkan atau dimasukkan dalam ranah korupsi khusus oleh jaksa penuntut umum.
Menjadi otoritas jaksa penuntut umum untuk memasukkan tindak pidana korupsi yang ditangani menjadi korupsi khusus atau bukan. Kalau jaksanya tidak memasukkan kasus korupsi sebagai korupsi khusus, hakim tidak bisa menjatuhkan sanksi di luar tindak pidana korupsi yang disangkakan, didakwakan, atau dituntut jaksa.
Keberanian jaksa untuk mengajukan kasus korupsi khusus dengan interpretasi (tafsir) "demi kepentingan keadilan'' dan kemanusiaan guna menjaring seseorang (terdakwa) dengan ancaman hukuman mati hingga kini belum ditunjukkan. Padahal, di tangan jaksa itulah sejatinya bekerjanya hukum secara maksimal ikut ditentukan. Kalau jaksa hanya mengajukan tuntutan beberapa tahun hukuman penjara, bisa dipastikan hakim secara umum akan condong mengurangi tuntutan ancaman hukuman yang dirumuskan jaksa
saya menilai terpidana kasus korupsi di Indonesia masih
dimanjakan. Mereka ditempatkan pada lembaga pemasyarakatan khusus dan masih
berkesempatan mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.
"Saya melihat koruptor memang terlalu dimanjakan, efek jeranya kurang, terutama yang berkaitan dengan remisi," kata ahli pencucian Yenti Ganarsih.
Apalagi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly baru-baru ini mewacanakan jika terpidana korupsi berhak menerima remisi dan pembebasan bersyarat karena memiliki hak yang sama dengan narapidana lainnya.
Menurut Yenti, wacana yang dimunculkan Menkumham tersebut menunjukkan adanya kemunduran pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Ia menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak lebih tegas dari
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam memberantas korupsi.
Padahal, menurut dia, tindak pidana korupsi masuk dalam kategori tindak pidana khusus bersama dengan kejahatan narkotika dan kejahatan terorisme. Namun Jokowi sejauh ini baru menunjukkan ketegasannya terkait narkotika. "Tapi terhadap koruptor kok malah seperti ini? Itu yang dibaca masyarakat karena dampaknya kesejahteraan mereka, jadi boleh dong kita
bertanya. Apa pun programnya Jokowi kalau korupsinya dilepas begitu saja, tidak akan
tercapai.
Ia juga menilai jika pemidanaan terhadap koruptor belum menimbulkan efek jera. Masih ditemukannya sejumlah sel mewah milik terpidana korupsi dan fasilitas yang sedianya tidak diperoleh terpidana korupsi namun bisa ditemukan pada sel terpidana tersebut. Hal ini dinilai
Yenti sebagai akibat lemahnya pengawasan dari pihak lembaga pemasyarakatan.
"Banyakkan cerita-cerita lembaga pemasyarakatan, bagaimana HP bisa masuk LP (lembaga
pemasyarakatan), bagaiamana ada LP mewah, itu kan juga fakta bahwa ada, itu bisa tidak diantisipasi oleh departemen hukum," ucap Yenti.
Terkait pemidanaan di Indonesia, Yenti tidak setuju jika terpidana dimasukan ke lembaga pemasyarakatan hanya untuk pembinaan. Patut diingat, kata dia, seseorang dipenjara bukan hanya untuk dibina namun juga dibuat menjadi jera.
Selain dibina, mereka harus dijerakan,
harus diasingkan, ada penestapaan. Jadi penestapaannya memang berbeda dengan masa
lalu pada waktu penjara itu adalah fisik, tapi adalah perasaan.