Penulis : Chervy Khamidah
202310230110083
Dalam jangka panjang, dampak broken home ini dapat terus memengaruhi cara remaja menjalani kehidupan dewasa, termasuk dalam membangun keluarga dan karier mereka. Oleh karena itu, penanganan dini terhadap efek broken home sangat penting untuk memastikan remaja mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan agar dapat melewati masa sulit tersebut dengan lebih baik.
Menurut dari teori Erick Erickson remaja memasuki pada tahapan Identity vs Role Confusion yang dimana pada masa remaja adalah pembentukan identitas dan stabilitas psikologis. Mereka mungkin merasa kehilangan struktur keluarga yang selama ini memberi rasa aman, namun harus merasakan perubahan drastis dalam dinamika hubungan yang tidak harmonis, serta komunikasi yang tidak baik dapat memperburuk situasi. Hal tersebut membuat remaja mengalami suasana, seperti merasa cemas, frustasi, atau bahkan terisolasi. Perasaan ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri mereka dan membuat mereka enggan untuk membangun hubungan baru, karena takut mengalami penolakan atau kegagalan. Selain itu, Bowlby dengan teori keterikatannya menegaskan bahwa kurangnya kelekatan yang sehat dengan orang tua, akibat perceraian atau ketidakhadiran emosional, dapat menyebabkan gangguan kecemasan dan kesulitan dalam menjalin hubungan di masa depan. Atau menurut Bronfenbrenner dengan teori ekologi perkembangan, lingkungan keluarga memiliki pengaruh mendalam terhadap kesejahteraan mental remaja. Dalam kasus broken home, ketidakharmonisan dalam sistem keluarga dapat mengganggu stabilitas emosi remaja.
Survei BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) mencacat bahwa remaja dari keluarga broken home cenderung mengalami gangguan emosional, seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya rasa percaya diri. Sebuah studi dari Pusat Penelitian Sosial Universitas Indonesia juga menunjukkan bahwa 62% remaja yang berasal dari keluarga broken home mengalami penurunan prestasi akademik karena sulit berkonsetrasi dan merasa kurang mendapat dukungan emosional. Data ini menggaris bawahi pentingnya peran keluarga dalam membangun stabilitas emosional remaja agar mereka dapat tumbuh dengan sehat dan produktif. Berikut adalah contoh nyata efek broken home terhadap kesehatan mental remaja, Rahman, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun, mengalami konflik berkepanjangan dalam keluarganya sebelum orang tuanya bercerai. Setelah perceraian, Rahman sering menghabiskan waktu dengan kelompok yang cenderung berperilaku negatif. Ia terlibat dalam perkelahian dan mulai mencoba alkohol sebagai pelarian dari rasa stres dan frustrasi akibat hubungan yang buruk dengan ayahnya. Dari contoh tersebut, terlihat bagaimana broken home dapat memberikan dampak jangka pendek dan panjang pada kehidupan emosional, perilaku, dan sosial remaja. Dukungan psikologis dan lingkungan yang positif menjadi sangat penting untuk membantu mereka menghadapi situasi ini.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menunjukkan bahwa remaja dari keluarga broken home memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami gangguan psikologis. Selain itu, penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Asian Social Work and Policy Review menyebutkan bahwa 70% remaja dari keluarga broken home melaporkan perasaan kesepian yang mendalam dan kesulitan dalam membangun interpersonal. Sebagai contoh, riset yang dilakukan oleh Amato dan Sobolewski (2001) mengungkap bahwa hubungan buruk antara orang tua, baik sebelum maupun sesudah perceraian, dapat menyebabkan tekanan emosional yang besar pada anak remaja. Selain itu, situasi keluarga yang tidak stabil sering kali berdampak negatif pada pola pikir, kepercayaan diri, dan kemampuan mereka dalam bidang akademik maupun sosial. Karena itu, dukungan psikologis dan intervensi untuk memperbaiki dinamika keluarga menjadi langkah penting dalam meminimalkan dampak buruk broken home terhadap kesehatan mental remaja. Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Marriage and Family (2007), remaja dari keluarga yang mengalami broken home sering menunjukkan penurunan dalam prestasi akademik mereka. Ketidakstabilan emosional yang dihadapi seringkali mengurangi motivasi belajar dan berkontribusi pada konsentrasi yang terganggu. Penelitian lain menunjukkan bahwa remaja yang berasal dari keluarga broken home berisiko lebih tinggi mengembangkan gangguan mental serius, seperti gangguan kecemasan dan depresi, ketika mereka dewasa. Gangguan ini dapat memengaruhi kehidupan pribadi, akademik, serta profesional mereka di masa depan.
Seandainya saja remaja dari keluarga broken home mendapatkan dukungan emosional yang cukup dari lingkungan sekitar, seperti teman, keluarga, atau konselor. Kemungkinan positif yang mungkin adalah mereka mampu membangun penerimaan diri yang kuat dan mengembangkan kepribadian yang lebih resilien. Namun, jika seandainya remaja tersebut tidak mendapatkan perhatian yang memadai, mereka mungkin merasa terisolasi dan rentan mengalami dampak negatif seperti, perkembangan kepribadian yang tidak stabil, rendahnya harga diri, atau bahkan rendah keterlibatan dalam perilaku destruktif. Selain itu, menangani efek remaja broken home dapat melakukan seperti, mengajak remaja untuk terlibat dalam aktivitas yang mereka sukai, seperti olahraga, seni, atau organisasi komunitas, dapat membantu mengalihkan fokus mereka dari tekanan emosional. Kegiatan ini juga berperan dalam meningkatkan rasa percaya diri, memperluas jaringan sosial, dan menciptakan lingkungan suportif di luar rumah. Remaja perlu diajarkan cara-cara sehat untuk mengelola emosi mereka, seperti meditasi, latihan pernapasan, atau journaling. Ini membantu mereka mengurangi stres dan membangun mekanisme koping yang positif untuk menghadapi situasi sulit.