Guru P1 mengadu ke DPRD, kami sudah lulus tapi tak diangkat.
Suaramuda.com - Sebanyak 200 guru honorer kategori P1 di Kabupaten Tulungagung hingga kini belum juga diangkat menjadi PPPK, meskipun telah dinyatakan lulus dan memenuhi passing grade sejak tahun 2021. Jumlah ini menjadikan Tulungagung sebagai kabupaten dengan P1 terbanyak yang belum diangkat se-Jawa Timur. Di saat daerah lain sudah menuntaskan pengangkatan guru P1, Tulungagung justru masih menyisakan ratusan guru tanpa kejelasan status.
Siti Karminah, guru honorer di TK Desa Balesono, adalah salah satu dari ratusan P1 yang kini terkatung-katung. Ia telah mengabdi sejak tahun 2005 dan mengikuti seluruh proses seleksi PPPK sejak 2021
“Perasaan saya waktu dinyatakan lolos P1 itu bahagia. Tapi sekarang malah sedih. Saya sudah mengikuti semua tahapan, hasilnya bagus, tapi sampai sekarang belum dapat penempatan. Dari grup-grup info pun tak ada kejelasan, malah membingungkan. Kalau tak ada formasi, kenapa masih buka seleksi baru? Yang P1 kok belum selesai?” ujar Siti hearing di DPRD Tulungagung, Kamis (31/7/2025)
Kondisi ini memunculkan banyak pertanyaan dan kekecewaan di kalangan guru P1. Mereka merasa telah memenuhi semua syarat dan prosedur, namun tidak mendapatkan hak sebagaimana mestinya.
Miftahul Huda, Koordinator Guru P1 Tulungagung, menyebut tidak adanya kejelasan hingga hari ini sebagai bentuk ketidakadilan.
“Kami ini lulus passing grade sejak 2021. Tapi yang dari R2, R3 justru sudah banyak yang diangkat. Padahal mereka dulu tidak lolos passing grade. Kalau pun kami tidak bisa diangkat penuh waktu, mestinya bisa separuh waktu. Tapi nyatanya semuanya masih mengambang.”
Menurut Huda, para guru P1 sudah sempat beraudiensi dengan Bupati Tulungagung. “Pak Bupati janji akan menyelesaikan dan berkoordinasi dengan dewan, Dinas Pendidikan, dan BKPSDM. Tapi sampai sekarang belum ada tindak lanjut jelas. Kami akan masuk lagi ke pendopo untuk menagih janji itu.”
Lebih jauh, Huda juga menyampaikan keprihatinan atas kondisi banyak guru P1 yang telah dikeluarkan dari sekolah swasta tempat mereka mengabdi.
“Mereka dianggap sudah pasti diangkat, padahal belum. Ini membuat mereka kehilangan tempat mengajar dan nomor induk. Akibatnya, guru-guru P1 jadi korban kebijakan yang setengah hati,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Perkumpulan Komunitas Tulungagung (PKTP), Susetyo Nugroho atau yang akrab disapa Yoyok, menilai alasan anggaran yang selama ini dikemukakan pemerintah daerah sebagai dalih klasik yang tidak berdasar.
“Setiap tahun ada sisa anggaran belanja pegawai yang besar. Tahun 2023 ada sisa Rp197 miliar, tahun 2024 sisa Rp187 miliar. Tahun 2025 di awal APBD malah sudah dianggarkan Rp1,447 triliun. Padahal untuk mengangkat 200 guru P1 itu cuma butuh Rp8,4 miliar setahun. Jadi ini bukan soal anggaran, ini soal niat.”
Menurut Yoyok, ada indikasi bahwa guru-guru P1 yang berasal dari sekolah swasta memang sengaja disisakan agar tidak mengganggu struktur tenaga pendidik di sekolah negeri.
“Kalau mereka diangkat dan masuk sekolah negeri, tentu ada pergeseran. Ini bisa jadi alasan kenapa yang tersisa justru guru-guru dari swasta. Ini persoalan arah kebijakan yang diskriminatif,” tegasnya.
Yoyok menambahkan, seharusnya Pemkab Tulungagung bersikap adil dan menyelesaikan hak guru P1 terlebih dahulu sebelum membuka rekrutmen baru. (Ind).