Foto : H.Adv.Muhammad Danialin.,S.H

TULUNGAGUNG - Saat ini kita telah memasuki sebuah era dimana hampir semua aspek kehidupan berjalan beriringan dengan teknologi, semakin canggih teknologi terutama dalam teknologi komunikasi atau lebih tepatnya adalah penggunaan media sosial bagaikan pisau bermata dua. Satu sisi memilki dampak positif di sisi lain memiliki dampak negative, dampak positif pastinya akan
mempermudah kita untuk mendapatkan informsai dan komunikasi secara cepat tetapi disisi lain memiliki dampak negative salah satunya meningkatnya angka kejahatan melalui media sosial. Salah satu kejahatan di media sosial yang merugikan salah satu gender tertentu adalah Kekerasan Berbasis Gender Online atau KGBO.

Perempuan menjadi gender yang dianggap
lemah dibandingkan laki-laki sehingga perempuan seringkali menjadi yang lebih beresiko dalam kejadian KGBO sehingga bisa bisa menyebabkan terganggunya hak kesehatan reproduksi dan seksual. Secara definisi kesehatan reproduksi merupakan kondisi kesejahteraanfisik, mental dan sosial utuh bukan hanya terbebas dari suatu penyakit atau kecacatan dalam
segala aspek yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi, fungsi serta prosesnya. Baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis yang memadai agar perkembangan emosinya berlangsung dengan baik. Kejadian KGBO mungkin saja tidak melukai fisik tetapi
akan melukai psikis seseorang, sehingga hal ini akan mempengaruhi kesehatan emosional si korban.

Beberapa waktu lalu penulis menangani sebuah kasus KGBO yang dialami seorang perempuan yang mendapatkan ancaman dari mantan pasangannya untuk menyebarkan konten sensitive si korban, hal ini menjadi salah satu kejahatan dunia maya yang sangat mengganggu psikis seseorang. Sulitnya pembuktian di meja hukum dan banyaknya stigma yang menyerang
korban menjadi sebuah PR bagi kita penegak hukum termasuk pengacara atau advokat dan juga PR bagi tenaga kesehatan agar hak perlindungan korban dapat terpenuhi.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ketiga yang telah ditegaskan
bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Dalam kehidupan bernegara, salah satu yang harus
ditegakkan adalah suatu kehidupan hukum di dalam kehidupan bermasyarakat. Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar atas konstitusi. Hal ini berarti bahwa kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya dan hubungan antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak warga negaranya diatur oleh hukum. Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasar atas konstitusi.

Hal ini berarti bahwa kekuasaan pemerintahnya, hak-hak rakyatnya dan hubungan antara kekuasaan pemerintah dan hak-hak warga negaranya diatur oleh hukum. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat yang menyatakan bahwa: “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial” Aliran-aliran filsafat hukum yang akan diterapkan dalam permasalahan yang dibahas
adalah positivisme hukum. Aliran positivisme ini pemikiran John Austin, Hans Kelsen dan H.

L A. Hart. Secara garis besar pandangan positivisme hukum sebagai norma-norma positif dalam system peraturan perundang-undangan. Pandangan tersebut yang melahirkan landasan dalam paham positivisme modern. Filsafat ilmu hukum memberikan prespektif bahwa keadilan diwujudkan dalam hukum. Filsafat hukum berupaya memecahkan persoalan, menciptakan
hukum yang lebih sempurna, serta membuktikan bahwa hukum mampu memberikan penyelesaian persoalan-persoalan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dengan menggunakan sistim hukum yang berlaku suatu masa, disuatu tempat sebagai Hukum Positif.

Bahwa, ilmu hukum adalah normative, ini berarti bahwa menurut pandangan Hans Kelsen, hukum itu berada dalam dunia Sollen, dan bukan dalam dunia Sein. Sifatnya adalah hipotesis, lahir karena kemauan dan akal manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, jumlah kekerasan terhadap perempuan atau korban setiap
tahun mengalami peningkatan dalam berbagai jenis kekerasan yaitu 1248 kasus ditahun 2015, diikuti kenaikan ditahun 2016 menjadi 1353 kasus, ditahun 2017 terdapat penurunan 1301, ditahun 2018 turun kembali menjadi 1234 kasus tapi mengalami kelonjakan ditahun 2019 yaitu 1419 kasus. Tahun 2020 meskipun tercatat terjadi penurunan pengaduan korban ke berbagai lembaga layanan dimasa pandemik COVID-19 dengan sejumlah kendala sistem dan
pembatasan sosial, Komnas Perempuan justru menerima kenaikan pengaduan langsung yaitu sebesar 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yaitu 1.419 kasus, atau terdapat peningkatan pengaduan 970 kasus (40%) di tahun 2020.9 Data Lembaga Penyedia Layanan
menunjukkan bahwa KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) atau KBGO menunjukan adanya peningkatan dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi KBG0 adalah kekerasan psikis 49% (491 kasus) disusul
kekerasan seksual 48% (479 kasus) dan kekerasan ekonomi 2% (22 kasus).

Beberapa perundang-undangan yang mengatur kekerasan terhadap perempuan dan pelecehan
seksual diantaranya:
a) KUHP
Arti pelecehan diranah hukum hanya dikenal dengan istilah perbuatan cabul sedangkan
makna pelecehan dapat lebih luas dari istilah perbuatan cabul yang disebutkan dalam
KUHP. Bahasa yang lebih tepat untuk menjelaskan pelecehan seksual adalah kekerasan
seksual. Kekerasan seksual diatur dalam KUHP Pasal 289 mengenai perbuatan cabul
sedangkan pelecehan seksual atau kekerasan seksual memiliki makna lebih luas daripada perbuatan cabul. Salah satu contohnya adalah pelecehan verbal yang dilontarkan dari ucapan seseorang secara keinginan sepihak kepada pihak lain dan kalimat yang dilontarkan
mengandung unsur sensual atau merendahkan pihak lain. Dalam kondisi seperti itu, pasal yang dapat diterapkan adalah pasal 335 ayat 1 mengenai perbuatan tidak menyenangkan.

Walaupun pasal tersebut belum dapat melindungi perempuan dari pelecehan verbal. Namun dengan berkembangnya teknologi informasi, pelecehan verbal yang dilakukan dengan pengucapan kalimat atau ungkapan langsung beralih berupa teks melalui media
sosial atau dikenal dengan istilah sexting atau cyber harrasment yang merupakan salah satu bentuk KBGO b) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Pasal 29 mengatur penindakan pelaku penyebaran konten pribadi yang berdampak dapat
diaksesnya oleh public. Karena bagaimanapun penyebaran video intim yang biasanyan menimbulkan public menghakimi orang yang tampil didalamnya merupakan bentuk kekerasan. Sayangnya undang-undang ini bukan hanya melindungi korban jurstru dalam
pasal 34 UU Pornografi dapat membuat seseorang didalam konten atau melakukan tindakan
pornografi sebagai sasaran untuk dijatuhkan hukum pidana.

Ketentuan tersebut menyatakan “setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dipidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 5 Milyar‖ dalam pasal 8 UU Pornografi sendiri menyebutkan”setiap orang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

c) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kriminalisasi perbuatan yang termasuk kategori tindak pidana siber sebagaimana diatur dalam Konvensi Dewan Eropa 2001 sebagian sudah diatur dalam Undang-Undang No.11 

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Khususnya Bab VII tentang Perbuatan yang dilarang terdapat dalam pasal 27 sampai pasal 37 yang mengatur tindak pidana kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan dan
pengancaman, berita bohong dan menyesatkan, menyebarkan kebencian dan permusuhan, illegal acces, illegal interception, data interference, system interference, computer related forgery, dan misuse of devices. Sanksi Pidana atas perbuatan yang dilarang tersebut diatur dalam pasal 45 sampai dengan pasal 52. Secara garis besar, substansi dalam UU ITE
mengatur tentang KBGO yaitu: 1) Pasal 27 (Asusila, perjudian, penghinaan, pemerasan) 2) Pasal 28 (Berita bohong dan menyesatkan, berita kebencian, dan permusuhan) 3) Pasal 29 (Ancaman pemerasan dan menakut-nakuti) 4) Pasal 35 (manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik) Peraturan
perundang-undangan diatas seharusnya sudah dapat mengatur untuk menegakan kekerasan terhadap perempuan. Namun banyak jenis kekerasan terhadap perempuan yang belum termasuk kedalam kategori diatas, karena tidak semua jenis KBGO diatur dalam Undang￾Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

Seperti, cyberharrasment , cyber grooming
dan infringement of privacy yang termasuk kedalam jenis KBGO namun belum ada pasal yang mengaturnya. Sejauh ini, kejahatan asusila dihukum dengan Pasal 45 ayat 1 UU ITE yang menyebutkan bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransimiskan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 1 UU ITE dipidana penjara paling lama enam
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1 miliar”. Dalam hal ini, idealnya Pancasila yang menjadi falsafah bangsa memiliki nilai filosofis dan historis yang tinggi sebagai Ideologi Negara. Pancasila berisikan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, asas kemanusiaan yaitu manusia yang adil dan beradab, asas kebangsaan yaitu persatuan Indonesia, asas kerakyatan yang diimplementasikan kedaulatan rakyat yang berbentuk demokrasi yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta asas
keadilan sosial untuk kepentingan umum yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga ini menjadikan Pancasila sebagai penguji hukum positif yang ada di Indonesia, hukum yang ada harus mencakup nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.

Indonesia merupakan Negara Hukum sebagaimana Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 maka dari itu segala perilaku hendaknya tunduk pada ketentuan yang berlaku di Indonesia bagi setiap subjek hukum dimana perilaku yang menyimpang dan melanggar ketentuan akan
dikenakan sanksi. Didalam negara hukum juga berisikan asas kepastian hukum, yang tentunya memberikan legalitas yang tinggi dalam menjalankan aturan hukum, dimana legalitas merupakan sebuah nilai inti, hak asasi manusia, dalam arti nullum crimen, nulla poena sine lege (Tidak ada kejahatan, tak ada hukuman tanpa hukum)
 Beberapa kendala yang dialami dalam perlindungan korban KGBO diantaranya adalah:
Hukum Positif di Indonesia seperti KUHP, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sudah cukup untuk
mengatur KBGO namun hukum yang ada belum menimbulkan efekjera bagi pelaku KBGO.

Selain itu pencegahan dan perlindungan korban KGBO yang belum comprehensive, penulis beropini perlunya sebuah pelayanan yang komprehensif mulai dari penguatan hukum positive yang mengatur mengenai KGBO, harmonisasi penegakan hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat serta upaya promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitative
oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat, psikolog)
 Penerapan hukum terhadap pelaku KBGO harus tetap berpedoman terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Penggunaan nilai Pancasila dalam pembaruan sanksi pidana di Indonesia, karena nilai tersebut sudah tumbuh bersama dalam masyarakat Indonesia. Dalam penerapan sanksi
KBGO demi terwujudnya tujuan pemidanaan yang efektif terdapat dua kebijakan penal dalam penanggulangan KBGO yakni menjalankan sistem peradilan pidana terpadu berkeadilan gender dan pembaharuan peraturan hukum. Menjalankan sistem peradilan pidana berkeadilan gender dengan cara melibatkan korban secara aktif dalam proses penanganan perkara. Terlebih
perlu juga peran lembaga pemasyarakatan agar menimbulkan efek jera. Rehabilitasi dengan
menanamkan pembinaan Pancasila dan keadilan gender dirasa dapat menjadikan sistem penghukuman yang tepat demi terwujudnya tujuan pidana mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hu kum demi pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Penulis: H.Adv.Muhammad Danialin.,S.H