Dina Syarifah, M.Pd
Mahasiswi S3 Ilmu Keguruan Bahasa Universitas Negeri Padang-Sumatera Barat 


Pada tahun 2020, dalam rangka menekan penyebaran Corona Virus Diseases (Covid 19), Kemdikbudristek melakukan langkah responsif yang mengutamakan keselamatan dan kesehatan lahir dan batin siswa, pendidik, dan tenaga kependidikan dengan menetapkan kebijakan merdeka belajar. Merdeka Belajar bertujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional yang sebelumnya terkesan monoton menjadi pembelajaran bernuansa bahagia melalui lingkungan belajar yang bebas berekspresi (Kemendikbud, 2020) dalam (Rusdiah, 2022). (M. Tohir, 2019).

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024 menetapkan tujuan Pembelajaran Paradigma Baru dalam kurikulum merdeka untuk mewujudkan Profil Pelajar Pancasila. Menurut Permendikbud, pelajar Pancasila adalah pelajar sepanjang hayat yang memiliki kemampuan global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Ada enam ciri utama pada profil pelajar Pancasila yakni, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong-royong, mandiri, berpikir kritis, dan kreatif.

Apakah para akademisi pernah menelusuri kebijakan pemerintah ini melalui filsafat? Filsafat yang juga seharusnya mejadi tolak ukur atas penciptaan maha karya berupa kurikulum merdeka yang disajikan pemerintah hari ini, yakni aliran filsafat yang menekankan pada kebudayaan dan upaya menyiapkan manusia untuk hidup. Filsafat yang dimaksud adalah Filsafat esensialisme, bahwa manusia harus kembali ke kebudayaan lama karena telah melakukan banyak hal baik untuk mereka (Thaib, 2015).

Profil Pelajar Pancasila dengan keenam dimensinya adalah bahan penting yang akan tetap ada bagi bangsa Indonesia, meskipun telah berubah dari waktu ke waktu. Untuk alasan ini, sangat penting bagi penulis untuk menyelidiki kurikulum merdeka ini dari perspektif filsafat esensialisme. Secara etimologis, istilah "esensialisme" berasal dari kata Inggris "essential", yang berarti "inti atau pokok", dan "isme", yang berarti "aliran, mazhab, atau paham."

Salah satu cabang filsafat pendidikan yang dikenal sebagai esensialisme menginginkan untuk melihat kembali kebudayaan-kebudayaan lama sebagai warisan sejarah yang telah menunjukkan bahwa mereka berfungsi dengan baik untuk kebaikan. Aliran ini berpendapat bahwa pendidikan harus didasarkan pada prinsip yang jelas, abadi, dan stabil (Faizin, 2020). Menurut Hardanti (2020), terdapat tiga landasan dalam filsafat pendidikan esensialisme: landasan ontologis, landasan epistimologis, dan landasan aksiologis. Secara filosofis, kurikulum seharusnya mampu menghantarkan siswa menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan tertentu, serta membentuk budi pekerti luhur, sehingga dapat berkontribusi untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan, kebhinekaan, mendorong semangat kepedulian kepada sesama bangsa dan umat manusia untuk meningkatkan kesejahteraan sosial yang berkeadilan serta kejayaan bangsa Indonesia (Suryaman, 2020). Secara sosiologis, Suryaman (2020) menyatakan bahwa kurikulum yang bermutu juga harus mampu mewariskan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Menurut Hasim (2019), para esensialis berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memperoleh materi dalam hidup. Membentuk individu yang bahagia baik di dunia maupun di akhirat adalah tujuan umum dari aliran esensialisme. Tidak hanya guru dan tenaga kependidikan, tetapi juga kita semua sebagai orang tua harus membantu sekolah mewujudkan insan Indonesia yang sukses di masa depan, terutama dalam merancang siswa berkepribadian luhur yaitu berprofil pelajar pancasila, pada akhirnya juga dapat dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat.

Filsafat esensialisme yaitu aliran filsafat yang ingin kembali ke kebudayaan lama sebagai warisan sejarah yang telah membuktikan keunggulannya dalam kebaikan di kehidupan manusia. Harapan kita sebagai akademisi guru di sisi lain juga adaalah orang tua bahwa Konsep kurikulum Pendidikan hari ini yaitu kurikulum merdeka seyogyanya bergandengan dengan filsafat esensialisme. Pendidikan harus bersifat praktis untuk mempersiapkan siswa untuk hidup, mengembalikan kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran bermuatan dasar yang esensial untuk hidup.

Sekolah juga harus dapat berperan sebagai pemelihara dan penyampai warisan budaya serta sejarah sebagai hal yang diyakini akan membawa kebaikan bagi siswa hari untuk berkembang di masa depan karena memahami sejarah yaitu bagian dari kebudayaan lama akan menghadirkan hal–hal baik pada diri siswa, anak–anak kita hari ini. Guru sebagai model, panutan dan orang yang menguasai pengetahuan, kelas dan sebagai pengawas siswa harus mampu hadir menjadi sosok istimewa bagi siswa menjadi teladan yang merupakan sosok idola yang mereka tiru segala kebaikannya untuk bekal hidup di masa depan.

Akhir kata, penulis sebagai akademisi, dosen, guru, orang tua menyimpulkan bahwa kurikulum Merdeka Belajar yang merupakan program pemerintah dengan tujuan untuk memperbaiki sistem pendidikan nasional, yang tujuannya agar insan Indonesia mampu bersaing di mata dunia. Penulis berharap melalui filsafat esensialisme sebagai fondasi dari penciptaan kurikulum Merdeka Belajar, anak–anak, siswa–siswa akan menjadi manusia yang unggul memiliki karakter yang excellence mampu bersaing di mata dunia. (red/opini)