Bincang Bincang Seputar Hukum Oleh Para Dr. Fakultas Hukum Universitas Pahlawan.

Oleh : 
1. Dr. Ratna Riyanti MH (Dosen Fak Hukum Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai - Riau ).
2. Dr. Rian Prayudi Saputra M.H (Dosen Fak Hukum Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai - Riau).
3. Dr. Aminoel Akbar MH (Dosen Fak Hukum Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai - Riau).

Pertanyaan :
Nama saya (Rina Herfiani) yang dalam hal ingin menanyakan : apakah ada keharusan atau peraturan untuk melaporkan pernikahan antara WNI dan WNA yang terjadi secara hukum dan agama di Luar Negeri? Apakah harus melaporkan ke catatan sipil di Indonesia sementara pasangan bermukim di Luar Negeri ? kemudian mengenai dwi kewarganegaraan setahu sayaIndonesia tidak mengakui adanya dwi kewarganegaraan. Apakah memang demikian adanya? Apakah ada peraturan kewarganegaraan ganda di Indonesia yang menerangkan sanksi apa yang akan diberikan jika seorang WNI kemudian diketahui mempunyai WN lain? Sebelumnya maaf jika ada kata-kata saya yang sangat awam dan tidak mencerminkan pengetahuan saya tentang hukum. Terima kasih. 

Jawaban : dari (Dr. Ratna Riyanti MH)
Status kewarganegaraan merupakan status yang dimiliki seseorang dalam sebuah negara sehubungan dengan kewarganegaraannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Istilah dari status hukum kewarganegaraan mengacu pada istilah hubungan hukum antara seseorang dengan negara, selain itu mengarah pada bagaimana pengakuan dan perlindungan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan seseorang dan negara-negara tersebut. Pada umumnya terkait dengan status kewarganegaraan dalam suatu negara diatur oleh konstitusi atau peraturan perundang-undangan nasional yang mengatur tentang masalah status hukum kewarganegaraan dan secara umum juga menentukan siapa yang secara hukum dapat memenuhi syarat menjadi warga negara dan siapa yang tidak. Selain itu sebagai aturan umum, aturan tersebut juga berlaku bagi siapa saja yang telah memperoleh hak dan memiliki kewajiban berdasarkan status kewarganegaraan hukumnya atau tidak sama sekali.(Widodo Ekatjahjana, 2010). 

Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dikatakakan bahwa “Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.” Kewarganegaraan menurut arti yuridis yaitu dilihat dari timbulnya ikatan atau hubungan hukum antara masyarakat dengan negara. Suatu akibat hukum akan muncul karena terciptanya ikatan hukum tersebut dengan negara yang bersangkutan, seperti terdapat akta kelahiran, surat pernyataan, serta bukti kewarganegaraan. Kemudian terdapat kewarganegaraan menurut arti sosiologis muncul dari adanya ikatan emosional, seperti ikatan keturunan, tanah air, nasib, dan ikatan sejarah, dan bukan berdasarkan ikatan hukum. (Jurnal Hukum Adigama, Volume 4 Nomor 2, Desember 2021).

Status kewarganegaraan seseorang merupakan suatu hal penting yang mempengaruhi kedudukan seseorang sebagai subjek hukum yang kemudian mempunyai hak dan kewajiban hukum agar dapat dijamin secara legal dan actual. (Jurnal Konstitusi,Volume 13, Nomor 4 , 2016).

Asas-asas yang umum masih digunakan untuk mengatur atau menentukan kewarganegaraan seseorang yaitu asas ius soli dan asas ius sanguinis. Ius soli merupakan asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan wilayah kelahiran. Biasanya asas ius soli digunakan oleh negara yang jumlah penduduknya sedikit, dimana di antaranya merupakan orang-orang yang datang dengan bertujuan untuk melakukan pekerjaan demi pengembangan perekonomiannya. Sedangkan ius sanguinis merupakan asas yang digunakan untuk menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan hubungan darah atau garis keturunan yang bersangkutan. Jadi pada dasarnya asas ini bergantung pada pertalian hubungan darah seorang anak dengan orangtuanya. Apabila orang tua seseorang mempunyai status kewarganegaraan di suatu negara, secara langsung status kewarganegaraan dari anak tersebut juga dianggap sama mengikuti orang tuanya. Pada umumnya, perolehan status kewarganegaraan dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu kewarganegaraan akibat kelahiran (citizenship by birth), memperoleh kewarganegaraan dengan cara pewarganegaraan (citizenship by naturalization), dan perolehan kewarganegaraan dengan cara registrasi biasa (citizenship by registration).

Kami akan menjawab pertanyaan pertama saudara Rina : Pernikahan Warga Negara Indonesia (“WNI”) dengan Warga Negara Asing (“WNA”) atau yang disebut sebagai perkawinan campuran diatur dalam dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menerangkan bahwa perkawinan campuran tersebut dinyatakan sah jika dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan. Kemudian Lebih lanjut, pernikahan campuran yang dilangsungkan di luar negeri dikatakan sah, selama para pihak telah melaksanakan pencatatan perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan tersebut dilangsungkan. Namun, yang perlu diingat, agar perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri dinyatakan sah menurut hukum Indonesia, harus terlebih dulu dilakukan pencatatan dan pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi: Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Melihat ketentuan Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan, dapat kita ketahui bahwa surat bukti perkawinan WNI dan WNA yang berlangsung di luar negeri itu harus didaftarkan/dicatat di Kantor Pencatatan Perkawinan satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia. Artinya, kewajiban pasangan perkawinan campuran tersebut untuk mencatatkan perkawinannya berlaku saat mereka kembali ke wilayah Indonesia. Jadi, tidak masalah apabila pasangan perkawinan campuran dalam cerita Anda saat ini menetap di luar negeri. Namun, saat mereka kembali ke wilayah Indonesia mereka harus mendaftarkan perkawinannya di kantor pencatatan perkawinan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.

Selain itu, mengenai perkawinan di luar negeri ini juga diatur dalam Pasal 38 Peraturan Presiden No. 96 tahun 2018 yang ketentuannya sebagai berikut.
Perkawinan WNI di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia setelah dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dengan memenuhi persyaratan: 

kutipan akta perkawinan dari negara setempat; dan
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia suami dan istri. 
Dalam hal negara setempat tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan perkawinan WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi persyaratan:

surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka agama atau penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; dan 
Dokumen Perjalanan Republik Indonesia suami dan istri.
Lebih lanjut, Pasal 39 Perpres 96/2018 mengatur ketentuan:

Perkawinan WNI di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib dilaporkan ke Disdukcapil Kabupaten/ Kota atau UPT Disdukcapil Kabupaten/Kota di tempat Penduduk berdomisili dengan memenuhi persyaratan: 
bukti pelaporan perkawinan dari Perwakilan Republik Indonesia; dan kutipan akta perkawinan.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan bagi WNI di luar wilayah Indonesia dilakukan pada instansi yang berwenang di negara setempat. Dalam hal negara tersebut tidak menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi orang asing, pencatatan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia.

Kemudian, setelah WNI tersebut kembali ke Indonesia, WNI wajib melapor kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota di tempat penduduk berdomisili dengan membawa bukti pelaporan/pencatatan perkawinan di luar negeri dan kutipan akta perkawinan.

Aturan Kewarganegaraan Ganda di Indonesia
Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang dwi kewarganegaraan, mari lihat dari asas-asas kewarganegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang Kewarganegaraan. Dalam Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan disebutkan bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar, undang-undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, yaitu asas ius sanguinis, ius soli, dan campuran.

Adapun 4 asas-asas yang dianut dalam UU Kewarganegaraan adalah sebagai berikut :
Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan.

Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan dikatakan bahwa pada dasarnya UU Kewarganegaraan tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian. Jadi, benar yang Anda katakan bahwa hukum Indonesia tidak membolehkan warga negaranya berkewarganegaraan ganda.

Apabila seorang WNI kemudian diketahui mempunyai kewarganegaraan ganda, maka ia harus melepaskan salah satu kewarganegaraan yang ia miliki. Apabila ia tidak mau melepaskan salah satu kewarganegaraannya, maka sanksi yang didapatkan adalah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia. (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.)
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
3. Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.