Foto : Prof. Dr. H. Khairunnas Rajab, M.Ag
Suaramuda.com - Islam, salam, damai; yang menyelamatkan dan merahmati sejagat dengan muatan konfrehensif yang dimiliki. Islam adalah menyeluruh yang holistik dan kaffatan linnas tanpa pemilahan dan pemisahan dalam pemanfaatan dan pemaslahatan. Dengan Islam, semua mendapatkan keberkahan yang tercurah luas bagi semua makhluk tanpa kecuali.
Dalam terminologi umum, Islam adalah agama kaffah yang mengandung banyak nilai; tak luput aspek sosial, budaya, pendidikan, politik, hukum, ekonomi, psikologi, dan keilmuan lain yang secara aplikatif dapat dibuktikan secara ilmiah kebenarannya.
Islam telah dideklarasikan sebagai agama kaffah yang menunjukkan keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan. Banyak yang punya pandangan bahwa Islam adalah agama doktrin akhirat yang hanya untuk kepentingan ukhrawi semata. Padahal Islam merupakan agama yang sepadu padan antara dunia dan akhirat.
Islam rahmatan lil ‘alamiin mewariskan ajaran yang multi dimensi, sehingga memudahkan lestarikan kapanpun, dimanapun, siapapun, dan apapun. Islam memang agama yang sempurna, agama yang rasional, logis, teratur, imanen, dan transenden.
Islam mengajarkan keseimbangan selaras antara material dan immaterial, fisikal dan psikologikal, samawi dan ardhi, duniawi dan ukhrawi, putih dan hitam, laki-laki dan perempuan, positif dan negatif, buruk dan baik, jantan dan betina, serta keseimbangan lainnya.
Perilaku baik dan buruk selalu bergulir sepanjang waktu. Orang yang beramal shaleh diberikan ganjaran sekalipun sebesar zarrah, demikian pula sebaliknya. Islam yang menjadi pedoman hidup itu, menjelaskan setiap bait-bait kehidupan dengan sempurna. Makanya, berIslam seolah ia telah menyatakan ikrar diri untuk selamat hidup di dunia dan akhirat.
Kehidupan Islami mencerminkan gaya hidup yang bahagia, jika ia diamalkan dengan ilmu dan dasar-dasar yang kuat melalui aqidah Islamiyah, syariah muamalah, dan akhlaqul karimah.
Personal yang beraqidah Islamiyah mengukir akhlak yang menjadi jati dirinya sebagai sosok yang beriman. Jika ingin memastikan bahwa akhlak itu adalah pancaran aqidah yang benar, dapat dilihat sejatinya pada sisi seorang muslim yang malu melakukan perbuatan buruk, karena Allah dipahami sebagai Tuhan yang memiliki sifat basyir dan sami’. Justeru itu seorang muslim yang beraqidah sebagaimana yang diajarkan mengindahkan perbuatan baik yang dirasakannya Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar. Sifat malu berlaku buruk merupakan patri sempurna bahwa ia beraqidah murni tidak dicampuri riya’ dan syirik.
Beraqidah Islamiyah menafikan segala sembahan, selain ilahiy rabbiy. Tuhan yang berhak disembah dan merupakan Tuhan satu-satunya yaitu Allah Azza Wajalla, demikian juga dengan Tuhan yang Maha Pengatur Rabbussamawati wal ardh yaitu Malikiyauddin Allah Rabbul Jalil.
Allah SWT memiliki asma dan sifat yang makhluk dianjurkan berdoa semua nama julukannya.
Beraqidah Islamiyah meluruskan prinsip dan fondasi hidup dan kehidupan kemanusiaan. Beraqidah Islamiyah memastikan setiap mukmin berkelakuan positif yang jauh dari wasangka.
Sangkaannya pada Allah Sang Pemilik Semesta Raya adalah baik, di mana ia redha menerima qadha dan qadar-Nya dengan kaffah. Ketentuan qadha dan qadar mereformulasi dirinya dalam doktrin ketuhanan bahwa apa yang menimpanya diterima sebagai tawakal dan redha pada keputusan terbaik dari Allah SWT.
Allah Ta’ala adalah Tuhan Yang Maha Tinggi menciptakan kebaikan-kebaikan bagi makhluk dengan pilihan potensi yang melekat pada sisi penciptaan manusia; antara melakukan keburukan ataupun kebaikan.
Pilihan untuk melakukan salah satu keduanya, keburukan maupun kebaikan mendapatkan konsekwensi yang harus dipertanggungjawabkan di dunia atau akhirat.
Perilaku buruk yang diperbuat manusia diganjar dengan dosa, sedangkan amalan baik atau shaleh diberikan pahala.
Apabila di kontekstualisasi makna iman dalam pengertian perbuatan baik dan buruk, maka keseluruhannya meliputi janji dan ancaman (wa’ad dan wa’id) bagi premis perilaku setiap orang.
Janji akan mendapatkan pahala atas kebaikan dan ancaman atas perbuatan nista adalah kepastian dalam definisi teologis menurut jumhur ada nyata adanya.
Dengan mengetahui wa’ad dan wa’id menggarisbawahi bahwa setiap mukmin merasakan kesadaran moral, berintegritas, berkomitmen tinggi, responsif, berdisiplin, asertif, peduli, dan memiliki sikap sosial yang santun, beradab, pemaaf, sabar, dan tulus. Jika ada fenomenal yang bertolak belakang dengan kenyataan di atas, maka dapat dipastikan adh’aful iman (selemah-lemah iman) untuk kemudian bisa juga disebut orang yang belum sepenuhnya beriman.