Penulis : Nila Salsabila Maftuhatuz Zakyah
Fakultas : Psikologi
Universitas : Universitas Muhammadiyah Malang
Suaramuda.com - Pernikahan dini merupakan fenomena sosial ekonomi yang kompleks di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang mengakar dalam sejarah dan dinamika sosial masyarakat yang panjang. Menandakan fenomena ini menjadi salah satu persoalan struktural yang membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak, praktik ini mencerminkan ketimpangan sosial yang mendalam.
Sejak diberlakukannya Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, praktik pernikahan di bawah usia 19 tahun telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan anak tertinggi di dunia, berdasarkan laporan UNICEF tahun 2022. Fenomena ini jauh lebih dari sekadar pola sosial biasa, melainkan representasi nyata dari tantangan sosial yang berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan, dan struktur budaya masyarakat. Kompleksitas permasalahan ini membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan seluruh elemen sosial untuk menciptakan perubahan sistemik, dengan memperhatikan akar persoalan yang berakar pada sistem sosial yang ada.
Faktor penyebab pernikahan dini sangatlah kompleks dan saling berkaitan. Kemiskinan menjadi salah satu determinan utama, di mana keluarga seringkali melihat pernikahan anak perempuan sebagai strategi ekonomi untuk mengurangi beban finansial (Ayuwardany & Kautsar, 2022). Rendahnya akses pendidikan membatasi peluang anak-anak terutama perempuan, untuk mengembangkan potensi diri dan memutus mata rantai kemiskinan. Faktor sosial budaya seperti tradisi perjodohan, pandangan masyarakat yang menganggap pernikahan dini sebagai hal biasa, serta keterbatasan program kesehatan dan pendidikan reproduksi turut memperparah situasi. Budaya leluhur memiliki pengaruh signifikan dalam mendorong terjadinya pernikahan dini di Indonesia, yang kerap kali dipandang sebagai warisan tradisi yang sakral dan tak terbantahkan. Di beberapa komunitas, praktik ini dianggap sebagai mekanisme sosial yang sah untuk menjaga kehormatan keluarga, mengatur hubungan sosial, dan memelihara struktur masyarakat tradisional (Bahriyah et al., 2021). Selain itu, ketidaksetaraan gender, minimnya sanksi hukum, pemahaman agama yang keliru, serta tekanan sosial untuk segera menikahkan anak menjadi faktor pendukung berkembangnya praktik ini. Semua faktor ini berkontribusi membentuk lingkaran setan yang sulit diputus tanpa intervensi yang efektif.
Data statistik dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) menunjukkan perkembangan dinamis dalam upaya pencegahan perkawinan anak. Angka perkawinan anak telah mengalami penurunan dari 8,06% pada tahun 2022 menjadi 6,92% pada tahun 2023, dengan penurunan 3,5 poin persen dalam dekade terakhir. Namun, data Badan Pusat Statistik (BPS) masih mencatat realitas yang mengkhawatirkan: lebih dari 30% perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dan sekitar 7% di antaranya menikah sebelum usia 15 tahun. Proporsi perempuan usia 20-24 tahun yang menikah di bawah usia 15 tahun mencapai 0,25% di perkotaan dan 0,88% di perdesaan. Meskipun menunjukkan perbaikan, angka tersebut masih jauh dari target UNICEF sebesar 8,74 persen pada tahun 2024 dan 6,94 persen pada tahun 2030. Oleh karena itu, upaya berkelanjutan dan sistematis harus terus dilakukan untuk memastikan tercapainya target tersebut.
Dampak pernikahan dini terhadap kesehatan mental remaja sangat terstruktur dan mendalam. Kondisi psikologis yang rapuh dan belum matang menjadi akar permasalahan utama dari fenomena ini. Studi menunjukkan bahwa pasangan yang menikah sebelum usia 18 tahun berisiko mengalami masalah kesehatan mental hingga 41 persen. Gangguan kecemasan, stres, depresi, kurang percaya diri, gangguan bipolar, hingga trauma psikologis lainnya kerap dialami oleh pasangan muda ini. Remaja pada tahap perkembangan ini belum memiliki kematangan emosional untuk mengelola konflik rumah tangga, sehingga cenderung menggunakan kekerasan sebagai mekanisme penyelesaian masalah.
Keterbatasan dalam berinteraksi dengan teman sebaya, terputusnya akses pendidikan, dan beban tanggung jawab keluarga yang dini menyebabkan perasaan tertekan serta kesulitan membangun hubungan sosial yang sehat. Dampak ini menegaskan pentingnya perlindungan psikososial bagi remaja untuk mencegah permasalahan mental yang lebih serius di masa depan, mengingat konsekuensi jangka panjang yang dapat merusak kesejahteraan psikologis individu dari psangan muda itu sendiri (Ningrum & Anjarwati, 2021).
Meskipun fenomena ini memiliki dampak negatif, terdapat perspektif yang melihat potensi positif pernikahan dini dalam konteks sosial dan keagamaan. Secara tradisional, praktik ini dianggap dapat menghindari perilaku tidak bermoral dengan memenuhi kebutuhan seksual melalui ikatan sah. Bagi keluarga dengan kondisi ekonomi rendah, pernikahan dini dipandang sebagai solusi mengurangi beban ekonomi.
Beberapa masyarakat percaya bahwa menikah di usia muda memungkinkan orang tua memiliki anak yang masih muda ketika memasuki usia lanjut. Pengaruh globalisasi dan digitalisasi membuat beberapa remaja menganggap bahwa keluarga muda memiliki energi dan semangat dalam membangun rumah tangga, serta kesempatan untuk tumbuh bersama pasangan sejak dini. Namun, pandangan ini seringkali mengabaikan dampak jangka panjang dan tantangan yang dihadapi pasangan muda dalam membangun kehidupan rumah tangga yang stabil.
Penanganan pernikahan dini memerlukan strategi transformatif yang strategis dan berkelanjutan. Mengurangi praktik ini secara tidak langsung berpotensi menurunkan angka perceraian dan membuka peluang lebih luas bagi remaja untuk fokus pada pendidikan serta pengembangan potensi diri. Jika pernikahan dini tidak terjadi, remaja akan memiliki kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan formal, memperluas wawasan, serta membangun keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan masa depan (Cahyaningrat & Widiasavitri, 2023).
Pemerintah dan masyarakat perlu bersinergi membangun sistem perlindungan hak-hak remaja melalui edukasi kesehatan reproduksi, penguatan kesetaraan gender, dan pemberdayaan sosial ekonomi. Langkah konkret meliputi mengintegrasikan program pencegahan dalam kurikulum pendidikan, memberikan pemahaman komprehensif kepada keluarga, menyediakan layanan konseling bagi remaja, dan mendorong perubahan paradigma sosial yang menempatkan pendidikan dan kesejahteraan anak sebagai prioritas utama. Upaya pencegahan pernikahan dini harus menjadi gerakan nyata untuk memutus mata rantai persoalan sosial yang berkepanjangan, demi menciptakan generasi masa depan yang lebih berdaya dan sejahtera.
Referensi
Ayuwardany, W., & Kautsar, A. (2022). Faktor-Faktor Probabilitas Terjadinya Pernikahan Dini Di Indonesia. Jurnal Keluarga Berencana, 6(2), 49–57. https://doi.org/10.37306/kkb.v6i2.86
Bahriyah, F., Handayani, S., & Astuti, A. W. (2021). Pengalaman Pernikahan dini di Negara Berkembang: Scoping Review. Journal of Midwifery and Reproduction, 4(2), 94–105.
Cahyaningrat, N. K. D. P., & Widiasavitri, P. N. (2023). Pernikahan Dini : Keinginan atau Paksaan? Sebuah Literature Review. Jurnal Ilmiah Wahana Pendidikan, 9(21), 480–488.
Indriani, F., Pratama, N. H., Sitepu, R. N. B., & Harahap, Y. A. (2023). Dampak Tradisi Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan Reproduksi Pada Wanita : Literature Review. Journal of Science and Social Research, 6(1), 1. https://doi.org/10.54314/jssr.v6i1.1150
Ningrum, R. W. K., & Anjarwati. (2021). Dampak pernikahan dini pada remaja putri (Impact of early marriage on adolescent women). Jurnal of Midwifery and Reproduction, 5(1), 37–45.