Suaramuda.com - Di sebuah rumah sederhana di bawah lereng Gunung Budeg, Dusun Sendang, Desa Tanggung, Kecamatan Campurdarat, Sitem (60) masih setia dengan kesibukan yang jarang ditemui generasi sekarang, menganyam Tompo dari bambu. Wadah tradisional untuk pususan beras ini sudah ia tekuni sejak kecil, diajari langsung oleh orang tuanya sepulang sekolah dasar (SD).
“Dulu hampir tiap hari sepulang sekolah saya diajak membantu orang tua menganyam. Sampai sekarang masih saya jalani,” tutur Sitem, Jumat (26/9/2025).
Membuat Tompo bukan pekerjaan mudah. Prosesnya panjang, dimulai dari bambu yang disigar (diirati), diongot, lalu dieblek. Setelah dianyam rapi, hasilnya diblengkeri dengan plastik senar agar kuat. Satu Tompo membutuhkan waktu sekitar 20 menit, dan dalam sehari Sitem bisa menyelesaikan hingga 10 buah.
Dua minggu sekali, hasil anyamannya diambil bakul dengan harga Rp30 ribu per kodi (20 biji). Biasanya lima kodi langsung dibeli untuk dijual kembali ke luar kota. “Kalau hanya dari anyaman jelas tidak cukup untuk hidup. Karena itu saya juga bertani jagung, telo, dan pelihara beberapa ekor kambing,” ungkapnya.
Meski begitu, Sitem tetap memilih bertahan. Hidup di perbukitan yang hening membuatnya lebih tenang menekuni kerajinan tangan yang sudah jarang ditemui. “Harapan saya ada perhatian dari pemerintah. Biar kerajinan Tompo tetap hidup, dan bisa ikut menyejahterakan keluarga kami,” harapnya.
Di usianya yang ke-60, Tompo bambu karya Sitem menjadi bukti bahwa tradisi anyaman kuno warisan leluhur masih bisa bertahan di tengah derasnya arus zaman.(Ind).