Dialog soal transparansi anggaran Jamkesmas di ruang Graha Wicaksana DPRD Tulungagung.

Suaramuda.com – Hearing antara LSM Cakra dan Komisi C DPRD Tulungagung di Ruang Graha Wicaksana DPRD Tulungagung memanas setelah muncul dugaan ketidaksesuaian data penerima serta pengelolaan anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) Tahun Anggaran 2023.

Ketua LSM Cakra, Totok, mengungkap sejumlah kejanggalan terkait pembayaran iuran BPJS yang dibiayai APBD. Menurutnya, besaran pembayaran per bulan yang dilakukan Dinas Kesehatan tidak konsisten meski anggaran ditetapkan untuk satu tahun penuh.

“Pembayaran per bulan tidak sama, padahal ini anggaran tahunan. Selain itu, banyak warga yang menurut data sudah didaftarkan BPJS daerah, tetapi mereka tidak menerima kartu itu,” tegas Totok, Kamis (27/11/2025).

LSM Cakra juga menemukan dugaan ketidaktepatan sasaran. Beberapa nama penerima tercatat sudah memiliki KIS, tetapi kembali didaftarkan sebagai peserta yang dibiayai APBD. Bahkan ada nama yang tidak masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), tetapi tetap muncul sebagai penerima bantuan iuran.

Totok menyebut lemahnya pengawasan internal membuat berbagai ketidaksesuaian tidak terdeteksi sejak awal. “Pengawasan oleh Inspektorat maupun DPRD belum maksimal. Jika dilakukan intens, hal seperti ini tidak akan terjadi,” ujarnya.

Ia menegaskan LSM Cakra akan terus mengawasi pengelolaan jaminan kesehatan agar lebih akuntabel. Menurutnya, persoalan ini bukan untuk menyeret pihak tertentu ke ranah hukum, melainkan sebagai bentuk kontrol publik.

 “Kalau nanti ada potensi masalah hukum, itu bukan tujuan kami. Kami hanya ingin anggaran daerah benar-benar dirasakan masyarakat,” kata Totok.

Totok menyatakan hearing baru dapat dinilai memuaskan jika DPRD menerima dokumen lengkap, termasuk kuitansi pembayaran dan laporan pertanggungjawaban dari OPD terkait.

Sementara itu, Ketua Komisi C DPRD Tulungagung, Binti Luklukah, S.M., mengatakan bahwa banyak keluhan muncul akibat minimnya sosialisasi dari BPJS, Dinas Kesehatan, dan Dinas Sosial.

 “Data penerima sudah ada, tetapi masyarakat tidak tahu haknya. Ini menunjukkan komunikasi belum berjalan baik,” ujarnya.

DPRD mendorong agar sosialisasi dilakukan secara terstruktur, salah satunya melalui pertemuan di tingkat kecamatan yang melibatkan kepala desa, BPJS, Dinas Sosial, dan Dinas Kesehatan.

Binti memastikan data kepesertaan seharusnya dapat dipantau secara berkala karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memeriksa laporan setiap tiga bulan.
“Data itu bisa di-cross-check. Tinggal kemauan dari OPD untuk lebih terbuka,” tegasnya.

DPRD juga menyoroti capaian Universal Health Coverage (UHC) Tulungagung yang masih berada di level rendah. Menurut data terakhir, cakupan berada pada kisaran 62 persen.

Binti menuturkan banyak warga tidak masuk kategori miskin maupun pekerja formal, tetapi juga enggan mendaftar BPJS jika belum sakit.“Tipologi masyarakat kita begitu. Banyak yang baru mau daftar BPJS kalau sakit,” jelasnya.

Dinas Kesehatan sebelumnya menyebut kebutuhan anggaran untuk mencapai UHC penuh mencapai Rp120 miliar, sementara anggaran yang tersedia pada 2023 baru sekitar Rp40 miliar.

Hearing ditutup dengan dorongan agar seluruh instansi terkait memperbaiki transparansi dan sinkronisasi data penerima jaminan kesehatan. DPRD menargetkan penyerapan anggaran jaminan kesehatan dapat mencapai di atas 98 persen, dengan tetap mengutamakan ketepatan sasaran.

 “Kami akan mengawasi sekuat kemampuan agar ke depan lebih baik. Kalau informasi tidak dibuka, kami akan cari dengan cara kami,” pungkas Totok. (Ind).